Ini adalah kisah SAHABAT saya tentang ayahnya.:
Dulu saya pernah tidak setuju dengan ayah saya yg menolong orang tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Entah knapa ayah saya begitu mudahnya percaya pada orang2 yang meminta tolong kepadanya, baik itu tenaga maupun materi, selama ayah saya ada atau mampu, dia pasti akan berikan pada setiap orang tanpa pandang bulu. Sampai2 tabungan yg sebenarnya dia tujukan utk pergi hajipun habis dia berikan kepada orang-orang yg meminta bantuan materi kepadanya.
Pernah saya bertanya pada beliau, “Ayah kan blom pernah naik haji, mengapa ayah korbankan tabungan haji ayah utk orang2 yg ayah tidak tahu apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau cuma menipu. Beliau menjawab “Nak, selama kita menganggap orang lain itu baik, maka pertolongan yg kita berikanpun akan dianggap baik oleh Allah. Masalah ibadah haji, Insya Allah, Allah akan menggantinya nanti buat ayah. Seandainya tidakpun, sebenarnya rasa yg ayah rasakan saat kita mampu menolong orang yg membutuhkan itu saja sudah sangat cukup membahagiakan ayah, membuat ayah sangat bersukur kepada Allah”.
Saat itu saya masih memprotesnya, “Tapi ibadah haji itu kan wajib bagi yg mampu, sedangkan ayah bukan tidak mampu, tapi ayah tidak mau mampu. Seandainya ayah sungguh2 mengumpulkan uang ayah tanpa harus mengganggu gugatnya lagi meski ada yg butuh bantuan, bilang aja gak ada uang, kalau uang yg ada hanya uang tabungan haji. Kalau ayah memanajemennya dg baik, dan membagi2 harta yg ayah miliki pada post2 yg sudah ayah tentukan sebelumnya, tentu ayah tidak harus sampai mengorbankan tabungan haji ayah” kataku setengah berteriak. Dengan sabar ayahku menjawab “Ayah doakan suatu saat kamu akan mengerti bahwa ibadah itu tidak harus dipaksakan dengan mengorbankan hak2 orang lain. Yang paling utama, ayah tidak mengorbankan hak2 ibumu dan anak2 ayah utk hidup cukup dan mendapat pendidikan sampai kamu dapat berdiri sendiri”.
Setelah ayah meninggal, sempat terselip penyesalan mngapa ayah tdk mendengar kata2ku, dan yg terjadi sekarang yg ayah wariskan Cuma rumah kecil dan bbrp barang sederhana, sedangkan adikkku ada yg masih kecil.
Hal pertama yg menghiburku adalah banyaknya pelayat yg mengiringi ayah ke kuburan. Orang2 di jalan yg melihat iring2an pelayat menyangka yg dimakamkan adalah pejabat.
Tak perlu menunggu lama, banyak orang2 berdatangan dan dulu mengaku pernah dibantu oleh ayah, krn mereka sekarang sudah sukses, merekapun memberi bantuan kepada keluarga kami. Bahkan ada yg menawarkan pekerjaan kepada anak2 ayah yg ingin bekerja. Kami menolaknya dengan baik-baik. Uang bantuan yg tidak seberapa itu kami jadikan modal awal suatu usaha kecil2an. Ternyata usaha kami berkembang sangat cepatnya karena lebih banyak lagi orang2 yg merasa pernah ditolong ayah, membantu usaha kami. Dan setiap saya atau adik2 saya melakukan suatu urusan atau bepergian keluar kotapun, hampir bisa dipastikan kami bertemu meskipun tidak secara sengaja dengan orang2 yg mengaku mengenal ayah kami. Dan begitu tahu bhw kami anak ayah, maka kemudahan2lah yg kami dapat dari mereka.
Dan saat ini dari hasil bisnis keluarga yg berkembang pesat saya sudah menghajikan almarhum ayah saya dan kami sekeluargapun sudah haji. Ayah saya memang mungkin semasa hidupnya tidak pernah melihat Ka’bah secara langsung, tapi beliau mendapatkan pahala hajinya. Ini membuat saya teringat kata2 beliau bahwa Insya Allah , Allah nanti akan menggantikan haji ayah . Ayah mungkin tidak pernah bersimpuh di Masjid Haram dan Nabawi, tapi ayah membuat bersimpuh hati ribuan orang yg ditolongnya. Semua kebaikan ayah, kamilah anak-anaknya yg menuainya, menikmati hasilnya di dunia. Dan saya yakin ayah menuai hasilnya di akherat. Ayah kami memang tidak mewariskan harta yg banyak, tetapi beliau mewariskan kepada semua orang kebaikan yg banyak. Dan karena kebaikan itulah kami hidup dihormati dan disayangi oleh orang2. Dalam hati Saya berjanji saya akan meneruskan sikap dan sifat ayah saya dan kulihat bayangan ayah tersenyum saat ku Wukuf di Arafah.
No comments:
Post a Comment